Artikel / 17 Aug 2024

Memaknai Kemerdekaan Bersama Mudir Daarul Arqom Tulung

Oleh: A. Rifai

Bendera dan Tanda

Roland Barthes, seorang filsuf, kritikus sastra, dan semiolog dari Prancis mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang digunakan untuk memaknai atau “membaca” tanda yang diproduksi dan memiliki pesan tertentu dari masyarakat. Tanda yang dimaksud oleh Barthes, diantaranya berupa logo, gambar, musik, mimik wajah, bendera, hingga gerak tubuh. 

Pada momen peringatan kemerdekaan Indonesia tahun 2024, Pondok Pesantren Modern Daarul Arqom mengadakan upacara yang dipimpin oleh Mudir Pondok, Ustadz Ismail Siddiqi. Dalam merayakan hari lahir kemerdekaan Indonesia yang ke-79 kali ini, Beliau mewejangkan pesan kepada para santri dan para dewan guru yang turut hadir di lapangan Gedung AR. Fachrudin, Wajong Wetan, Sudimoro, Tulung “... Kita tidak sedang menyembah bendera Indonesia, sebab, bendera hanyalah simbol. Penghormatan terhadap bendera ‘merah-putih’ merupakan wujud dari penghargaan kita kepada para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Mereka dengan sikap pahlawan, rela mati demi kemerdekaan bangsa. Cahaya matahari mulai menyengat. Debu mulai beterbangan. Upacara dimulai, tepat pukul 08. 30 (WIB).

Kembali ke studi simbol. Barthes mengatakan: mitos bisa lahir dari kebudayaan. Dan, mitos yang berterima di masyarakat dalam jangka waktu yang panjang, akan mengubahnya menjadi ideologi. Sebagai kumpulan nilai dan tanda, ideologi selalu digunakan sebagai kacamata untuk membaca realitas. Sering juga digunakan untuk menggebuk lawan politik yang berbeda faham.

Beliau – Mudir pondok – mengatakan “bendera tidak diposisikan sebagai entitas yang disembah”. Konteks pernyataan itu bisa ditarik kepada realitas pemikiran sebagian umat islam yang enggan “hormat” kepada Sang Saka Merah Putih. Mereka berpandangan bahwa, hormat bendera sama saja, plek ketiplek,  dengan menyembah bendera. Kondisi tersebut yang kemudian ditafsirkan dan diarahkan ke aspek teologis: musyrik atau menyekutukan Tuhan. Dari penafsiran yang sarat motif politis tersebut, muncul arus pemikiran baru dalam wacana pemikiran islam: faham anti negara, anti pemerintah, dan kemudian melakukan upaya-upaya politis untuk mendirikan negara Islam. 

Beliau, dalam kesempatan yang sama, menyampaikan sejarah dicetuskannya salah satu butir hasil kesepakatan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47. Para tokoh Muhammadiyah yang hadir pada sidang tersebut menyepakati bahwa: Indonesia – yang falsafahnya dirumuskan oleh para ulama dan tokoh nasional – merupakan dar al- ahdi wa al-syahadah , yang bermakna  “segenap umat Islam harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai dar al- syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan”. Jadi, Islam tidak beroposisi secara vis a vis  dengan negara Indonesia. Pancasila tidak bertentangan dengan agama Islam. Bahkan, kata Beliau, Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Islam. Bung Tomo, memekikkan takbir yang menggema, di seantero Nusantara dalam momen menghadang agresi militer Inggris di Surabaya. Kita mengenal, Bung Tomo, adalah seorang guru di lembaga pendidikan yang didirikan oleh  Muhammadiyah.

Adapun, bagi pemerintah, kadangkala, bendera ‘merah-putih’ yang maknanya diresapi oleh umat Islam yang sadar sebagai simbol perjuangan, mereka gunakan sebagai alat untuk melemahkan para oposisi yang melakukan kritik membangun yang dilayangkan kepada pemerintah yang sedang diberi amanah untuk memimpin bangsa dan melanggengkan kekuasaan otoriter mereka. Mitos yang lahir dari tanda, kemudian mewujud dalam ideologi (negatif) antikritik, untuk mengukuhkan status quo mereka. Digunakan untuk menggebuk musuh politiknya.


Mengisi Kemerdekaan Dengan Ibadah

Ustadz Siddiq, sapaan keseharian beliau, menyampaikan warta di depan para santri, bagaimana Palestina mengalami penindasan dan penjajahan oleh Zionis Israel. Tak sedikit fasilitas publik yang  dihancurkan: masjid, sekolah, rumah sakit, dan kuttab (lembaga pendidikan Alquran untuk anak-anak).

Kata Beliau, menjelaskan, satu-satunya negara di dunia yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Palestina. Ya, negara yang kini sedang memerlukan bantuan kita secara moril dan materil itu.

“Mari kita isi (perayaan) kemerdekaan ini dengan beribadah, sebab di bumi yang lain – maksudnya Palestina – hanya untuk beribadah saja merasakan kesulitan yang luar biasa,” ujar beliau.

Bahkan, di negara mayoritas muslim, Indonesia, sempat ada pelarangan mengenakan jilbab bagi peserta paskibra yang akan mengibarkan sang saka merah putih di Ibukota Negara Nusantara (IKN). Statmen ini diwakili oleh ketua BPIB, Yudian Wahyudi. Setelah mendapatkan kritik dari hampir seluruh lapisan masyarakat, peraturan itu dicabut.

Perayaan kemerdekaan kali ini, harus dirayakan secara bermakna, bukan asal-asalan: euforia berlebihan, bahkan salah satu media besar yang dirintis oleh Goenawan Mohamad – penyair, esais, perupa – yaitu Tempo, melayangkan warta: upacara kemerdekaan di IKN, menghabiskan 87 milyar. Sedangkan, pada saat yang sama, banyak masyarakat Indonesia yang kesusahan mencari lapangan pekerjaan, dan tak sedikit yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
 

Ketidakadilan Adalah Sumber Kegaduhan Dan Konflik

Butir Pancasila pada sila ke-5 (

Leave a comment

NewsRoom

Volup amet magna clita tempor. Tempor sea eos vero ipsum. Lorem lorem sit sed elitr sed kasd et

© Daarul arqom tulung. All Rights Reserved.