Memaknai Kemerdekaan Indonesia Bersama Mudir Daarul Arqom Tulung Part 2
Oleh: A. Rifai
Pada Parti Pertama, telah penulis singgung dua hal penting tentang isi dari amanat Mudir yang disampaikan pada momen upacara peringatan kemerdekaan.
Ketidakadilan Adalah Sumber Kegaduhan Dan Konflik
Butir Pancasila pada sila ke-5 (sila terakhir), berbunyi: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini, menekankan agar para pelaksana pemerintah, yang telah menghabiskan anggaran dalam proses pemilihannya, harus melakukan pembangunan –sosial, ekonomi, budaya – secara merata. Ketidakmerataan pembangunan, jika merujuk pada statmen Mudir, adalah penyebab kegaduhan terjadi.
Kita paham, demonstrasi oleh buruh, adalah konsekuensi logis dari ketidakmerataan (ketidakadilan) pembangunan ekonomi dan sosial.
Dalam teori sosial konflik, misalnya teori Marx, terjadinya ketidakadilan akan memicu lahirnya dua kelas sosial: Proletar (korban ketidakadilan), dan Borjuis (penindas).
Pak Kuntowijoyo, dalam buku Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi, melakukan pemaknaan terhadap term dalam Alquran: Mustadhafin, sebagai kelas tertindas. Di antara mereka adalah kelas buruh dan kelas ekonomi menengah kebawah, yang tidak mendapatkan hak-haknya. Tauhid, sebagai “ideologi” kaum muslim, harus menjadi alat untuk pembebasan, kata Ali Syariati. Gerakan pembebasan harus menyentuh realitas akar rumput. Tidak berhenti di menara gading. Dan, untuk melakukan reformasi, tidak hanya berhenti pada penjelasan teoritis, sebagaimana teori sosial yang hari ini masif dipelajari dan diajarkan oleh sebagian sarjana muslim. Inilah kemudian yang menjadi benih lahirnya teori sosial profetik yang sering dikampanyekan oleh sejarawan cum sastrawan itu, Dr. Kuntowijoyo. Adapun, Muhammadiyah telah melakukan itu melalui teologi Al-Maun-nya yang “membumi”, mewujud menjadi lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, lembaga bantuan hukum, dan lain-lain.
Kembali Ke Akar
Para pendiri bangsa (founding father) tidak hanya negarawan, mereka juga seorang pemikir. Sebagai seorang yang konsekuen dengan ilmu pengetahuan, mereka paham dengan prinsip-prinsip etika: benar-salah, baik-benar, indah-tidak indah. Mereka bukan orang yang pragmatis “mutlak”, dan seorang oportunis.
Mohamad Hatta, misalnya, adalah seorang pembaca buku yang sangat “gila”. Dua kontainer dia bawa dari Belanda, ia pulangkan ke negaranya, Indonesia. Bentuk kecintaannya terhadap ilmu, dia wujudkan dalam kecintaannya dengan buku. Dalam pengasingannya di Boven Digoel, ia berpesan kepada kolonial: “izinkan saya membawa koleksi buku saya.” Barangkali, itu yang membuatnya tidak sempat membeli sepatu Bally hingga akhir hayatnya: uangnya ia habiskan untuk investasi intelektual.
Soekarno, misalnya, beliau tidak hanya negara tetapi juga ideolog dan pemikir bangsa. Di Bawah Bendera Revolusi, adalah Magnum opusnya. Intelektualitas adalah modal utama memimpin bangsa, bukan keterkenalan atau sensasi. Mereka, para pendiri bangsa, tidak hanya mampu berpikir teknis tetapi lebih jauh dari itu, penalaran mereka merasuk ke akar masalah. Mereka melakukan penalaran secara filosofis. Kita tahu, Bung Hatta, juga menulis buku pengantar filsafat: Alam Pikiran Yunani.
Pendiri bangsa juga orang-orang yang sangat sederhana. Bukannya tidak mau meraih segala yang mereka inginkan, tetapi sebagai pemikir, mereka paham konsekuensi ilmu. Pertanggungjawaban intelektual. Mereka memilih hidup bersahaja di dalam pelukan ilmu, bukan gelimang harta.
Ya, mereka memilih hidup sederhana. Haji Agus Salim, kata Anhar Gonggong – sejarawan Indonesia terkemuka, beliau hingga akhir hayatnya tidak memiliki rumah atas namanya sendiri. Hidupnya berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan berikutnya, padahal beliau adalah seorang menteri. Sangat mampu jika hanya menyisihkan uang untuk membeli rumah. Sayang, ia tidak melakukan itu. Mohamad Natsir, tidak gengsi mengenakan jas yang ditambal. Hatta, dia tidak mau menikah sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Dan, menurut penuturan putrinya, ia berwasiat agar tidak dimakamkan di pemakaman para pahlawan. Ia bilang, ia ingin dimakamkan di pekuburan umum agar dekat dengan rakyat, yang sangat ia cintai.
Sungguh, semakin orang cerdas, ia semakin baik, kata filsuf Yunani, Sokrates. Petanda orang cerdas, katanya, adalah komitmen pada ilmunya. Ketidakbahagiaan, adalah wujud dari khianat terhadap ilmu.
Korupsi dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah yang, katanya mendapat pendidikan tinggi berkualitas, belum mencerminkan kebaikan budi. Belum seimbang antara penguasaan ilmu dan kualitas amal yang dilahirkannya.
Kembali ke akar, adalah kembali kepada ilmu. Kembali pada komitmen terhadap ilmu pengetahuan yang telah diajarkan di sekolah atau kampus. Jika ilmu mengatakan: korupsi itu sebuah kejahatan, maka setiap orang yang tau kaidah itu dan berkomitmen pada pengetahuannya, yakinlah, bangsa ini akan merdeka. Kita akan mendapatkan kemerdekaan yang hakiki, bukan artifisial. Dan, itulah yang dipegang kuat oleh para founding father bangsa Indonesia, menancap di dalam hati dan membuahkan kerja-kerja yang strategis, maksimal, dan dilaksanakan dengan amanah.
Semoga bermanfaat..